Jakarta, CNBC Indonesia - Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal menjelaskan terdapat perbedaan pengukuran rasio pajak atau tax ratio antara Indonesia dengan lembaga internasional Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Menurutnya, perbedaan definisi tersebut membuat perbandingan yang tidak setara.
Di Indonesia, atau lebih tepatnya dalam Nota Keuangan definisi penerimaan pajak terbagi menjadi arti sempit dan arti luas. Namun secara keseluruhan, pemerintah mendefinisikan rasio pajak mencakup penerimaan negara yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang dibagi dengan Produk Domestik Bruto.
"Tax ratio itu diperbandingkan kalau kita secara umum membandingkan lurus-lurusan angka tentu ini menimbulkan perbandingan yang tidak comparable tax ratio yang biasa kita publikan di Indonesia itu biasanya yang mencakup banyak penerimaan yang dikumpulkan oleh DJP dan DJBC," ujar Yon Arsal dalam webinar secara daring Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Selasa (27/8/2025).
Sementara dalam definisi OECD, rasio pajak adalah mengumpulkan semua penerimaan negara termasuk dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam (PNBP SDA) Migas, tambang non migas, pajak daerah, hingga penerimaan pajak kontribusi sosial yang dibagi dengan PDB.
Menurutnya, perbedaan definisi terhadap rasio pajak inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki rasio perpajakan yang rendah.
"Pada prinsipnya adalah yang dimaksud dengan penerimaan pajak itu dalam definisi OECD adalah segala sesuatu yang memberikan beban kepada negara dalam konteks Indonesia dan dalam konteks nasional adalah segala sesuatu itu apakah di collect oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah itu doesn't matter juga yang penting itu memberikan beban kepada masyarakat," ujarnya.
Dirinya mencontohkan, beberapa objek pajak daerah seperti Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang merupakan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota.
Dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) sebagaimana di dalam Pasal 4 Ayat (2) PBJT bukan termasuk objek pajak pusat yang dikelola DJP. Maka dari itu, penerimaannya tidak terekam menjadi salah satu perhitungan untuk rasio pajak.
"PBB itu adalah merupakan bagian dari tax ratio pada saat masih dikelola oleh DJP pada tahun 2010 jadi pajak daerah dan sejak tahun itu tidak lagi masuk komposisi text ratio dan kemudian juga bagi contoh yang lain sejak undang-undang HKPD beberapa komponen pajak daerah yang seperti apa namanya pajak hotel, restoran yang seharusnya juga merupakan bagian dari komponen pajak PPN tapi karena sudah menjadi objek PPN atau pajak daerah tidak lagi dikenakan," ujarnya.
Berdasarkan data yang diolah oleh Kementerian Keuangan dengan penyesuaian berdasarkan definisi OECD, rasio pajak Indonesia mencapai 12,1% pada tahun 2022. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan menggunakan definisi rasio pajak Indonesia rasio perpajakan Indonesia mencapai 10,4% pada tahun yang sama.
Jika dibandingkan dengan negara OECD lainnya, angka tersebut masih jauh lebih rendah yang berada di kisaran 20-26%. Namun, jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, angka rasio perpajakan 12,1% tidak terlalu tertinggal.
"Asia Tenggara itu masih di kisaran antara 12-14% namun sekali lagi kami sampaikan bahwa ini Indonesia walaupun tidak terlalu tertinggal dibanding negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina kalau social security-nya dikeluarkan ya tetapi kita masih tetap ada ruang karena kita sekitar 2-3% di bawah tipping point 15%," ujarnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Ini Alasan Bank Dunia Cap Kinerja Pajak RI Buruk