Indonesia Police Watch (IPW) melaporkan ke KPK soal pemotongan honorarium penanganan perkara Hakim Agung, Rabu (2/10).
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, mengungkapkan bahwa adanya pemotongan hak yang mestinya didapatkan oleh Hakim Agung dalam memutus perkara yang bisa ditangani maksimal dalam waktu 90 hari.
Hal itu disebutnya juga telah tertuang dalam PP Nomor 82 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
"Jadi penanganan perkara yang diputus maksimal 90 hari, setiap hakim agung mendapatkan," ujar Sugeng kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (2/10).
"Nah ternyata, dari yang menjadi hak 100 persen untuk majelis dengan tiga majelis, dengan lima majelis, maupun hakim tunggal, itu mereka hakim yang menangani perkara cuman mendapat 60 persen," jelas dia.
Ia menyebut bahwa terdapat pemotongan hak para Hakim Agung sekitar kurang lebih 25,95 persen. Sugeng pun meminta KPK untuk segera mendalami laporan tersebut.
"Kemudian ada sekitar 14,05 persen diberikan kepada tim pendukung seperti panitera perkara, panitera muda kamar, staf, itu 14,05 persen. Ada sebesar 25,95 persen yang tidak jelas, nih. Itu kami dapatkan buktinya melalui surat internal, dari internal Mahkamah Agung," ucap dia.
"Kami sudah serahkan kepada KPK. Kami minta hal ini didalami, apakah dalam pemotongan ini ada dugaan tindak pidana korupsi pemotongan ini," sambungnya.
Sugeng juga meminta KPK mendalami apakah ada pihak yang menggunakan kewenangannya dalam melakukan pemotongan honor Hakim Agung tersebut.
"Dalam prinsip hukum, hak yang menjadi hak honor yang menjadi haknya Hakim Agung itu hanya bisa dikurangi atas kesukarelaan dan jumlahnya tentu berbeda-beda. Kalau kita memberikan sesuatu kepada pihak lain itu kan sebagai sedekah ya, ini kan terserah kita. Kalau ini rata ini 25,95 persen," tutur Sugeng.
"Apakah di sana ada unsur penggunaan kewenangan dari pejabat yang berwenang meminta sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dan juga bertentangan dengan peraturan, silakan KPK mendalami," ujarnya.
Sebelumnya, MA telah membantah tudingan IPW itu dan bahkan membuat konferensi pers untuk menjelaskan masalah ini.
Juru bicara MA, Suharto, menegaskan tidak ada praktik pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung seperti yang dituding IPW.
Ia juga mengungkap fakta yang terjadi adalah para hakim agung bersepakat untuk menyerahkan secara sukarela sebesar 40 persen dari hak honorarium penanganan perkara yang diterimanya untuk didistribusikan kepada tim pendukung teknis dan administrasi yudisial.
"Tidak ada praktik pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung yang dilakukan secara paksa dengan intervensi pimpinan Mahkamah Agung," ujar Suharto kepada wartawan, di Yogyakarta, Selasa (17/9).
Suharto menuturkan pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya itu juga dituangkan dalam surat pernyataan bermeterai yang diketahui oleh ketua kamar yang bersangkutan. Seluruh hakim agung telah membuat surat pernyataan penyerahan secara sukarela sebagian haknya atas honorarium penanganan perkara dan surat kuasa pendebetan.