
ASOSIASI Pengusaha Indonesia (Apindo) melihat capaian pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 sebesar 5,12% memberi sinyal bahwa perekonomian Indonesia masih memiliki pondasi yang kuat. Hal itu menunjukkan adanya daya tahan di beberapa sektor, termasuk peran stimulus fiskal pemerintah yang mulai terasa bulan Juni lalu.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mencontohkan pemerintah yang merancang berbagai program untuk menjaga konsumsi masyarakat selama masa libur sekolah. Mulai dari diskon transportasi umum, tarif tol, listrik rumah tangga, bantuan pangan dan sembako, hingga subsidi upah bagi 17 juta pekerja dan 3,4 juta guru honorer.
Selanjutnya, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 54,25% dengan pertumbuhan 4,97% secara triwulanan dan 6,99% secara tahunan.
Shinta menyebut pertumbuhan konsumsi ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan rumah tangga, termasuk kebutuhan primer dan makanan, serta meningkatnya mobilitas masyarakat.
"Aktivitas konsumsi juga terdorong oleh tingginya aktivitas pariwisata selama periode libur nasional dan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Waisak, Isa Almasih, dan Idul Adha, yang turut mendorong sektor restoran dan hotel," katanya kepada Media Indonesia.
Apindo memandang pertumbuhan di atas 5% patut disambut dengan optimisme, tetapi perlu juga memperhatikan catatan di lapangan. Misalnya daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, konsumsi rumah tangga masih di bawah rata-rata historis, dan sektor manufaktur masih dalam fase kontraksi.
"Karena itu, peluang menjaga pertumbuhan tahunan di kisaran 5% masih terbuka. Namun sangat bergantung pada langkah lanjutan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat, mempercepat realisasi belanja, memperkuat ekspor, dan memastikan iklim usaha tetap kondusif untuk mendorong investasi," jelasnya.
Shinta menyebut sejumlah hal dibutuhkan pelaku usaha untuk mendorong laju PDB tetap 5% tahun ini. Menurutnya, pelaku usaha membutuhkan dua hal utama, yakni kepastian dan efisiensi.
"Pertama, kepastian dalam regulasi, perizinan, dan penegakan hukum sangat penting agar pelaku usaha bisa ekspansi tanpa ragu. Kedua, efisiensi dalam biaya produksi, logistik, energi, dan pembiayaan juga perlu ditingkatkan, karena high cost economy masih menjadi keluhan utama di sektor riil," ungkapnya.
Apindo juga mendorong agar stimulus tidak hanya fokus pada sisi konsumsi untuk penguatan daya beli dan konsumsi, tapi juga diperkuat dari sisi produksi. Terutama stimulus yang dapat berdampak terhadap cost structure industri.
"Selain itu, percepatan pelaksanaan program strategis pemerintah, terutama di sektor infrastruktur, pangan, dan hilirisasi, juga dapat memberi efek pengganda (multiplier effect) terhadap permintaan domestik dan investasi swasta," paparnya.
Di samping itu, sektor manufaktur Tanah Air saat ini sedang dalam fase kontraksi, dengan PMI yang kembali turun ke level 46,9 pada Juni. Hal ini melanjutkan tren kontraksi tiga bulan beruntun yang mana PMI bulan April 2025 merupakan level terendah sejak Agustus 2021.
Ini juga tercermin dari data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang masih menunjukan penurunan dari selama 3 bulan terakhir. Pada Maret 2025, IKI berada pada level 52,98. Namun, turun drastis pada April (51,9), Mei (52,11), dan Juni (51,84).
Permintaan baru, baik dari sisi domestik maupun ekspor, dilaporkan mengalami pelemahan sekaligus menunjukkan aktivitas pasar benar-benar sedang melambat.
Menurut Shinta, banyak pelaku usaha yang melaporkan penundaan pesanan baru. Hal itu mencerminkan turunnya kepercayaan dan daya beli di pasar daya beli. Sementara itu, pasar ekspor juga belum bisa diandalkan karena gejolak perdagangan global yang terjadi.
"Banyak perusahaan menahan ekspansi, mengurangi output, bahkan melakukan penyesuaian tenaga kerja. Ini bukan sekadar karena faktor global semata, tapi juga karena biaya produksi yang masih sangat tinggi dari logistik, bahan baku impor, energi, hingga beban regulasi yang belum sepenuhnya efisien," jelasnya.
Untuk mendorong kontribusi industri, pihaknya menilai ada tiga langkah strategis yang perlu didorong. Pertama, instrumen jangka pendek yaitu stimulus untuk industri.
"Insentif dan perlindungan tidak cukup hanya bersifat normatif, perlu langkah afirmatif yang dapat yang langsung menyasar titik tekan pelaku industri, mulai dari biaya produksi, akses bahan baku, hingga kepastian regulasi," ujar Shinta.
Kedua, penyelesaian yang sifatnya jangka menengah panjang, yaitu mengeliminasi berbagai bottleneck yang masih menciptakan high cost economy.
"Kombinasi dari kedua hal ini sangat penting untuk mengembalikan daya saing sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional," pungkasnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada triwulan II tahun 2025 tumbuh 5,12% secara year-on-year. Sementara bila dibandingkan dengan triwulan I 2025 tumbuh sebesar 4,04%.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud menyebut ekonomi Indonesia berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II 2025 atas dasar harga berlaku sebesar Rp5.947 triliun, dan atas dasar harga konstan sebesar Rp3.396,3 triliun.
“Jika dilihat dari sumber pertumbuhan pada triwulan II 2025, industri pengolahan menjadi sumber pertumbuhan terbesar, yaitu sebesar 1,13%,” ungkapnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (5/8).
Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh lapangan usaha perdagangan dengan sumber pertumbuhan 0,70%, informasi dan komunikasi dengan sumber pertumbuhan 0,53%, serta konstruksi dengan sumber pertumbuhan 0,47%.
Dari sisi pengeluaran, pada triwulan II tahun 2025 secara year-on-year seluruh komponen mengalami pertumbuhan positif kecuali konsumsi pemerintah.
Komponen pengeluaran yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB adalah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sebesar 54,25%. Pada triwulan II tahun 2025, komponen ini tumbuh cukup kuat yakni sebesar 4,97%.
“Hal ini mengindikasikan masih kuatnya permintaan domestik,” kata Edy.
Selain itu, komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga memberikan kontribusi yang besar terhadap PDB triwulan II tahun 2025 sebesar 27,83%. Dengan demikian, 82,08% PDB triwulan II berasal dari konsumsi rumah tangga dan PMTB.
“Jika dilihat dari sumber pertumbuhan pada triwulan II 2025, konsumsi rumah tangga masih menjadi sumber pertumbuhan terbesar, yaitu sebesar 2,64% dari 5,12% pada pertumbuhan ekonomi di triwulan II, serta komponen PMTB dengan sumber pertumbuhan 2,06%,” paparnya.
Konsumsi rumah tangga terus tumbuh seiring meningkatnya belanja kebutuhan primer dan mobilitas rumah tangga. Kebutuhan bahan makanan dan makanan jadi meningkat karena aktivitas pariwisata selama periode libur hari besar keagamaan nasional dan hari libur sekolah.
Mobilitas masyarakat yang meningkat mendorong peningkatan konsumsi untuk transportasi dan restoran.
Sementara PMTB tumbuh didorong oleh investasi swasta dan pemerintah, belanja modal pemerintah pada triwulan 2025 tumbuh 30,37% secara year-on-year, terutama pada komponen mesin dan peralatan. (E-4)