Beberapa hari ini di berbagai platform media sosial ramai cuplikan video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyinggung soal pendapatan guru yang tak besar. Pernyataan tersebut menuai reaksi dari netizen dan guru, apalagi alokasi anggaran untuk guru dan dosen terbilang lebih rendah, hanya Rp178,7 triliun, dibanding program lainnya.
Rendahnya anggaran untuk guru dan dosen ternyata berbanding lurus dengan kesejahteraan guru dan dosen di Indonesia yang masih jauh dari kata sejahtera. Riset IDEAS 2024 menyatakan ada 74% guru honorer di Indonesia yang dibayar di bawah upah minimum terendah.
Riset lain dari Databoks mengatakan gaji guru di Indonesia terendah dibandingkan empat negara ASEAN lainnya: Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura. Data tersebut menunjukkan bahwa guru di Indonesia masih dalam kondisi prasejahtera dibandingkan profesi-profesi lainnya.
Meski gajinya kecil, namun proses seseorang menjadi guru ternyata butuh modal yang besar. Modal tersebut berbentuk biaya kuliah hingga pendidikan profesi.
Mengutip dari situs Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), salah satu perguruan tinggi kependidikan di Indonesia pada tahun 2025, jika masuk melalui jalur mandiri, ada iuran pengembangan institusi (IPI) sekitar Rp12 juta-Rp20 juta dan uang kuliah tunggal (UKT) setiap semester sekitar Rp500 ribu-Rp5 juta. Artinya jika masa studi normal adalah 8 semester, maka biaya tertinggi yang harus dikeluarkan bisa mencapai Rp60 juta. Ini belum termasuk biaya praktik dan kebutuhan hidup seperti tempat tinggal dan makan.
Setelah mengeluarkan modal cukup besar untuk kuliah hingga sarjana, itu pun mereka tak otomatis bisa jadi seorang guru. Mereka harus mencari lowongan mengajar atau menunggu pembukaan rekrutmen ASN.
Setelah itu mereka juga masih harus menjalani pendidikan profesi guru atau PPG untuk bisa mendapatkan tunjangan profesi--meski sudah berasal dari jurusan kependidikan. Di tahap ini, jurusan non-kependidikan juga bisa ikut. Kebijakan ini terasa tidak adil bagi lulusan jurusan pendidikan yang dari awal secara khusus memang sudah dibentuk untuk menjadi pendidik.
Rumitnya proses untuk menjadi guru di Indonesia ini juga berdampak pada jumlah pendidik yang semakin berkurang. Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Indonesia kekurangan 1,3 juta guru di tahun 2024. Hal ini terjadi karena ada guru yang pensiun dan minat generasi muda untuk menjadi guru menurut karena gaji yang rendah.
Pemerintah sebagai decision maker bisa melakukan reformasi kebijakan guru, mulai dari proses pendidikan, rekrutmen guru, hingga aturan ketenagakerjaan guru.
Pertama, proses pendidikan guru bisa diubah ke skema kedinasan. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, bisa bekerja sama dengan Lembaga Perguruan Tinggi Kependidikan (LPTK) dan menggratiskan biaya kuliah calon guru, memberikan uang saku, hingga mengangkat lulusannya menjadi guru ASN.
Dengan pola ini proses pendidikan dan rekrutmen menjadi lebih komprehensif karena bisa melihat kompetensi calon guru yang benar-benar layak, serta mengatasi kekurangan jumlah tenaga pengajar.
Solusi kedua adalah pemerintah bisa mengeluarkan regulasi yang jelas mengenai ketenagakerjaan dan guru honorer/swasta. Misalnya soal upah minimum guru, berapa lama yang dibutuhkan untuk menjadi karyawan tetap, dan hak-hak dasar guru lainnya. Selama ini, masih belum ada aturan dari pemerintah yang mengatur tentang besaran upah minimum guru honorer dan swasta.
Untuk bisa menerapkan solusi ini dibutuhkan political will dari pemerintah melalui kebijakan anggaran dan politik yang berpihak pada kesejahteraan guru.