
I can calculate the motions of celestial bodies, but not the madness of people (Sir Isaac Newton).
Dalam beberapa kesempatan berpidato, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan kegeramannya terhadap pelaku ekonomi yang disebutnya mempraktikkan serakahnomics. Para pelaku ekonomi itu diberi julukan macam-macam: maling ekonomi, vampir ekonomi pengisap darah rakyat, orang jahat yang menguras kekayaan negara, dan julukan lain yang berkonotasi sangat negatif.
Dikatakannya, perilaku yang demikian tidak lahir dari mazhab ekonomi yang biasa dikenal, seperti neoliberal atau ekonomi komando. Ilmu serakah itu tidak ada di buku, tidak diajarkan di universitas. Bahkan, menurut saya bernada gurau, Presiden meminta universitas-universitas di Indonesia membuka bidang studi baru bernama serakahnomics dalam rangka memahami fenomena ekonomi yang menyimpang itu.
Apakah memang fenomena keserakahan yang melekat pada para pelaku ekonomi merupakan fenomena baru sehingga kita merasa asing terhadapnya?
ASUMSI DASAR
Adam Smith (1776), filsuf moral yang kemudian dikenal sebagai Bapak Ilmu Ekonomi, menyimpulkan manusia pada dasarnya mementingkan diri sendiri. Pernyataannya tentang hakikat manusia sangat terkenal dan diajarkan kepada mahasiwa ekonomi pada semester awal perkuliahan, “It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker, that we expect our dinner, but from their regard to their own interest.”
Jadi, ekonomi pasar yang merupakan jaringan berbagai transaksi ekonomi bergerak karena semua pelaku ekonomi bekerja untuk merealisasikan kepentingan mereka sendiri. Pementingan diri sendiri itu membuat para pelaku ekonomi menjadi rasional, cermat dalam berhitung, tidak mudah ditipu, dan mampu mempertahankan eksistensi mereka dengan baik.
Yang menarik, demikian dikatakan Smith, pementingan diri sendiri dari para pelaku ekonomi akan menghasilkan kejutan, yaitu kebaikan kolektif. Ditulisnya, 'He intends only his own gain, and he is in this, as in many other cases, led by an invisible hand to promote an end which was no part of his intention. By pursuing his own interest, he frequently promotes that of the society more effectually than when he really intends to promote it'.
Sebaliknya, altruisme atau sikap yang mendahulukan kepentingan orang lain bersifat langka atau tunduk pada hukum kelangkaan (law of scarcity). Kita tidak mampu membangun sistem ekonomi yang kukuh apabila didasarkan faktor yang langka. Sistem ekonomi harus dibangun di atas faktor sumber daya dan semangat yang berlimpah. Harus ada swasembada dalam pementingan diri sendiri (unlimited supply of self-interest). Self- interest is inexhaustible, tulis Katrine Marcal (2016).
Dalam arus utama ilmu ekonomi (mainstream economics), untuk membangun model-model ekonomi yang kukuh (robust), manusia diasumsikan berperilaku oportunistis. Oliver Williamson (1985), peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2009, menyebut oportunisme (aji mumpung) sebagai bentuk paling kuat dari pementingan diri sendiri, dan didefinisikan sebagai 'self-interest seeking with guile. This includes but is scarcely limited to more blatant forms, such as lying, stealing, and cheating'.
Dengan demikian, fenomena menyimpang yang disebut Presiden, dalam tradisi ilmu ekonomi, bukan hal baru atau mengejutkan. Itu justru dijadikan asumsi, anggapan dasar atau titik tolok, agar kita tidak terlena dalam romantisasi berlebihan terhadap hakikat manusia dan terkungkung dalam kemunafikan permanen. Ungkapan seperti 'market has no mercy' menunjukkan pasar bukan tempat untuk berbagi kasih sayang.
HARUS DIKELOLA
Apakah dengan demikian kita harus mengajarkan keserakahan? Apakah oleh karena asumsi keserakahan tersebut, kita secara membabi buta mempraktikkan keserakahan dengan dalih hal tersebut bersifat otonom dan melekat pada setiap individu, bahkan untuk mereka yang menganut mazhab fundamentalisme pasar (market fundamentalism)? Sama sekali tidak.
Sejak kecil dan mulai bisa belajar, manusia tumbuh dalam lingkungan moral dan etika melalui berbagai institusi sosial, seperti keluarga, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan aneka organisasi sosial, yang mengajarkan nilai-nilai keutamaan, seperti kasih sayang, kesetiaan, solidaritas, dan hormat-menghormati.
Adam Smith, yang doktrinnya bersandar pada keyakinan terhadap paham individualisme dan liberalisme, menekankan bahwa ekonomi pasar hanya akan efektif apabila didasarkan pada sentimen atau kepekaan terhadap rasa saling percaya, keadilan dan integritas (trust, fairness, and integrity).
Dalam buku yang diterbitkan sebelumnya, The Theory of Moral Sentiments (1759), Smith memperkenalkan teori mutual sympathy of sentiments, yang menjelaskan interaksi dan persepsi antarindividu akan melahirkan kepekaan dan kesadaran nuraniah yang mendorong lahirnya kebiasaan yang bisa diterima satu sama lain.
Masalahnya, kita sering tidak berhasil membangun ekosistem dan budaya yang memungkinkan radius kesalingpercayaan, rasa keadilan dan integritas, bertumbuh kuat. Realitas itu oleh Francis Fukuyama dalam buku Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995) disebut sebagai masyarakat dengan modal sosial yang lemah (weak social capital).
Selaras dengan Fukuyama, Daron Acemoglu dan James Robinson, dalam buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012), juga sependapat, syarat konversi energi pementingan diri menjadi kepentingan publik tidak akan terbangun jika kelembagaan sosial ekonomi yang berkembang bersifat ekstraktif-parasitik. Lembaga-lembaga publik asyik melayani diri sendiri (self-serving organizations) dan menyimpang dari esensi dan fungsi keberadaan mereka.
PENGUASA DULUAN
Pertanyaan yang harus kita jawab ialah siapa yang harus lebih dulu bergerak untuk membangun ekosistem yang mampu meminimalkan berbagai potensi penyimpangan negatif yang terjadi di masyarakat sebagai konsekuensi dari pementingan diri tersebut?
Sesungguhnya Presiden Prabowo sudah memiliki jawaban. Dalam pidato pada Sidang Tahunan MPR dalam rangka HUT ke-80 kemerdekaan Republik Indonesia, 15 Agustus 2025, Presiden menyampaikan: "Kita paham bahwa korupsi adalah masalah terbesar bangsa kita. Perilaku korup ada di setiap eselon birokrasi kita. Ada di setiap institusi dan organisasi pemerintahan. Perilaku korup ada di BUMN-BUMN kita, ada di BUMND-BUMD kita. Ini bukan fakta yang harus kita tutup-tutupi… Setelah 299 hari saya memimpin pemerintahan eksekutif, saya semakin mengetahui seberapa besar tantangan kita. Seberapa besar penyimpangan-penyimpangan yang ada di pemerintahan kita… Saya berkewajiban menegakkan hukum demi keselamatan bangsa."
Semua tahu, dalam lingkungan dunia usaha yang tidak bersih, dengan birokrasi pemerintahan yang digerakkan upeti, pengusaha yang bersih telah lama mati. Perilaku pengusaha ialah derivatif atau cermin dari perilaku penguasa.
Faktanya, pengusaha tidak pernah disumpah untuk berbuat baik. Sebaliknya, penyelenggara negara dan pejabat publik disumpah untuk menjalankan hukum dengan selurus-lurusnya, menjaga kepentingan masyarakat, dan gajinya diperoleh dari penerimaan pajak yang dibayar rakyat.
Sudah hampir menjadi aksioma dalam teori dan pengalaman berbagai negara maju, tanpa pemerintahan yang bersih (clean government) dan tanpa tata kelola yang baik (good governance), membuat rakyat kecil bisa tersenyum (wong cilik iso gemuyu) ialah sebuah mimpi di siang bolong.