Jakarta (ANTARA) - Narkotika jenis sabu atau metamfetamina masih menjadi salah satu zat terlarang yang paling banyak disalahgunakan di Indonesia.
Zat stimulan ini bekerja langsung pada sistem saraf pusat dan memberikan efek euforia sesaat setelah dihisap, namun di balik hal tersebut tersimpan risiko besar bagi penggunanya.
Dalam jangka panjang, konsumsi sabu dapat menimbulkan kerusakan otak, gangguan kejiwaan, hingga masalah sosial dan ekonomi yang berat.
Baca juga: Wajah Nia Ramadhani pucat dan mata lesu, benarkah ciri pakai sabu?
Apa itu narkotika jenis sabu?
Sabu, atau yang dikenal dalam istilah ilmiah sebagai metamfetamina, merupakan turunan dari amfetamina, yaitu zat stimulan yang bekerja langsung pada sistem saraf pusat. Zat ini mampu meningkatkan aktivitas otak dan memunculkan efek seperti rasa percaya diri berlebih, energi meningkat, serta euforia sesaat.
Metamfetamina pertama kali disintesis pada tahun 1893 oleh Nagai Nagayoshi, seorang ahli kimia asal Jepang, yang berhasil mengekstrak senyawa tersebut dari efedrin, zat alami yang ditemukan pada tanaman Ephedra.
Beberapa tahun kemudian, pada 1919, ilmuwan Jepang lainnya, Akira Ogata, menyempurnakan metode sintesisnya dengan proses yang lebih sederhana menggunakan fosfor merah dan yodium.
Pada awal perkembangannya, metamfetamina digunakan untuk kepentingan medis. Sekitar tahun 1930-an, senyawa ini beredar dalam bentuk inhaler dan pil yang berfungsi sebagai dekongestan serta terapi bagi penderita narkolepsi, asma, dan gangguan hiperaktivitas.
Baca juga: Nia dan Ardi sudah 5 bulan konsumsi sabu, apa efeknya bagi kesehatan?
Namun, seiring meningkatnya kasus penyalahgunaan dan efek adiktif yang tinggi, penggunaannya dilarang secara luas di berbagai negara. Banyak orang menjadi ketergantungan dan mengalami dampak negatif yang serius.
Sabu bekerja dengan menstimulasi sistem saraf pusat. Setelah dikonsumsi, zat ini akan cepat terserap ke dalam aliran darah dan mencapai otak dalam hitungan detik. Di dalam otak, sabu memicu pelepasan dopamin, senyawa kimia yang berperan dalam mengatur rasa senang. Efeknya, pengguna akan merasa lebih fokus, bersemangat, dan bahagia.
Akan tetapi, ketika efek tersebut mereda, otak mengalami kelelahan ekstrem dan menuntut dosis tambahan untuk mendapatkan sensasi yang sama kembali. Kondisi ini yang menjadi awal munculnya ketergantungan penggunaan.
Sejak tahun 1970-an sampai sekarang, banyak negara mulai menyadari bahaya metamfetamina dan menetapkannya sebagai narkotika yang diawasi ketat. Di Indonesia, sabu bahkan tercatat sebagai jenis narkotika terbanyak kedua yang disalahgunakan setelah ganja.
Bentuknya seperti kristal bening menyerupai pecahan kaca atau es batu kecil, sehingga dikenal juga dengan sebutan “ice”. Sabu sifatnya juga mudah larut dan terserap. Cara menggunakannya pun bisa dihisap (smoking), dilarutkan dan disuntikkan, hingga dikonsumsi secara langsung.
Baca juga: Penggunaan narkoba jangka panjang berisiko ganggu organ tubuh
Dampak penggunaan sabu
Penggunaan sabu secara berulang dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak serius bagi tubuh, mental, dan kehidupan sosial penggunanya. Berikut penjelasannya:
1. Dampak fisik dan kesehatan
- Gangguan jantung dan pembuluh darah
Tekanan darah tinggi dan detak jantung yang meningkat dapat memicu serangan jantung, stroke, hingga gagal jantung. - Kerusakan otak dan sistem saraf
Penggunaan jangka panjang menyebabkan kerusakan sel otak yang berperan dalam fungsi memori, konsentrasi, dan pengendalian emosi. - Kerusakan gigi dan mulut (meth mouth)
Pengguna kronis kerap mengalami gigi rapuh, berlubang, gusi meradang, hingga kehilangan sebagian besar giginya. - Penurunan berat badan dan malnutrisi
Metamfetamina menekan nafsu makan, menyebabkan tubuh kekurangan gizi dan mengalami penurunan berat badan drastis. - Penuaan dini
Kulit pengguna sabu akan cepat tampak kusam, keriput, dan lebih tua dari usia sebenarnya akibat kerusakan jaringan tubuh. - Risiko penyakit menular
Pengguna yang menyuntikkan sabu dengan jarum tidak steril berisiko tinggi tertular HIV/AIDS dan hepatitis.
Baca juga: Dampak buruk pemakaian narkoba terhadap kesehatan fisik dan mental
2. Dampak terhadap kesehatan mental
- Paranoia dan halusinasi
Pengguna dapat mengalami rasa takut berlebihan, halusinasi visual atau suara, serta delusi yang memicu perilaku agresif. - Depresi dan gangguan suasana hati
Setelah efek euforia menghilang, pengguna sering merasa gelisah, kehilangan motivasi, hingga mengalami depresi berat. - Gangguan kognitif
Daya pikir, ingatan, dan kemampuan mengambil keputusan akan menurun seiring lamanya penggunaan. - Ketergantungan
Pengguna lama memerlukan dosis yang semakin tinggi untuk merasakan efek yang sama, sehingga memperkuat rasa kecanduan konsumsi narkotika tersebut.
3. Dampak sosial dan ekonomi
- Keretakan hubungan keluarga
Perubahan perilaku pengguna sering memicu konflik dengan keluarga dan lingkungan sekitar. - Kejahatan dan perilaku ilegal
Ketergantungan berat dapat mendorong pengguna melakukan tindakan kriminal untuk mendapatkan sabu. - Kerugian ekonomi
Penyalahgunaan narkotika memberi beban besar bagi sektor kesehatan, penegakan hukum, dan menurunkan produktivitas masyarakat. - Stigma sosial dan pengucilan
Mantan pengguna kerap menghadapi kesulitan untuk diterima kembali di masyarakat akibat rekam jejak kriminal dan stereotip negatif.
Melihat berbagai dampak tersebut, sabu bukan hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga masalah kesehatan dan sosial yang memerlukan perhatian serius. Dengan adanya edukasi, pencegahan, serta rehabilitasi bagi penyalahgunaan, menjadi langkah utama agar masyarakat terhindar dari bahaya narkotika jenis ini.
Baca juga: Dampak carisoprodol bagi tubuh manusia, BBPOM: bisa halusinasi
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.