Liputan6.com, Jakarta - Pakar neurosains dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabiqotul Husna, mengatakan, mahasiswa merupakan kelompok yang menghadapi tekanan mental tertinggi. Tekanan ini muncul dari berbagai aspek kehidupan, seperti tuntutan akademik, lingkungan pertemanan, dan keluarga.
Sabiqotul menjelaskan bahwa kondisi ini dapat berujung pada depresi jika tidak diatasi dengan baik. "Mahasiswa sering kali terjebak dalam tekanan dari akademik dan lingkungan sosial, tanpa memperhatikan kesehatan mental dan fisik mereka," kata Sabiqotul dikutip dari Antara.
Menurutnya, kesehatan mental dan fisik saling memengaruhi, sehingga penting untuk menjaga kesejahteraan secara holistik. Dia, menambahkan, jika seseorang mengalami kondisi mental yang buruk dalam waktu lama, dampaknya bisa merembet ke kesehatan fisik.
"Dua kesehatan itu tidak bisa terpisahkan. Jika seseorang mengalami kondisi mental yang tidak baik dalam waktu yang panjang, kesehatan fisiknya juga akan terpengaruh," tambahnya.
Kesehatan Mental dan Produktivitas
Sabiqotul juga menyoroti pemahaman keliru mengenai produktivitas di kalangan mahasiswa. Banyak yang berpikir bahwa produktivitas berarti bekerja tanpa henti.
"Produktivitas sebenarnya adalah keseimbangan antara apa yang kita hasilkan dan apa yang kita dapatkan," ujarnya.
Dari perspektif neurosains, kondisi mental yang buruk dapat memicu gangguan kesehatan fisik, termasuk penyakit autoimun. "Sistem tubuh akan terus memproduksi hormon stres saat seseorang berada dalam tekanan dalam waktu lama," kata Sabiqotul.
Kelenjar dalam tubuh akan teraktivasi saat stres, dan jika tidak dikelola, akan menyebabkan inflamasi akibat hormon stres yang berlebihan.
Tanda-tanda Kesehatan Mental Memburuk
Sabiqotul mengidentifikasi empat tanda yang dapat dikenali ketika kesehatan mental seseorang mulai memburuk:
- Dominasi emosi negatif.
- Penurunan kemampuan kognitif.
- Berkurangnya minat untuk merawat diri.
- Kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial.
Dia juga menyebutkan bahwa isolasi diri dapat menjadi "silent killer" bagi kesehatan mental. "Ketika kita sendirian dalam kondisi mental yang tidak baik, hormon stres akan terus keluar tanpa kehadiran orang lain," tambahnya.
Pentingnya Koneksi Sosial dan Bantuan Profesional
Kehadiran orang lain dan koneksi sosial yang positif sangat penting untuk membantu memperbaiki kondisi mental seseorang. Sabiqotul mengingatkan agar mahasiswa tidak menunggu hingga kondisi memburuk sebelum mencari bantuan profesional.
"Ketika sudah ada tanda-tanda seperti emosi tidak stabil atau menarik diri dari sosial, tidak ada salahnya menemui psikolog atau psikiater," imbaunya.
Dia juga mengkritisi fenomena romantisasi penyakit mental di media sosial, yang membuat kondisi tersebut seolah menjadi hal yang indah.
"Hal ini bisa berbahaya dan membuat orang tidak menyadari pentingnya mencari bantuan," pungkas Sabiqotul.