Jakarta -
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo beda pandangan soal ramalan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di 2025.
Sri Mulyani sebagaimana tercantum dalam asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 menetapkan asumsi nilai tukar sebesar Rp 16.100/US$. Asumsi ini mengedepankan prinsip kehati-hatian karena pemerintah menganggap dunia masih penuh ketidakpastian dan bisa berdampak terhadap tekanan nilai tukar rupiah.
"Kita meletakkan pada level Rp 16.100/US$ lebih pada ekspresi kehati-hatian dari pemerintah yang akan berdampak pada postur baik penerimaan, belanja dan pembiayaan. Maka kami memang mencari titik yang bisa menjaga fiskal dan memberikan ruang untuk baik fiskal dan moneter bisa terus terjaga," kata Sri Mulyani saat rapat kerja tentang RAPBN 2025 dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (28/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sri Mulyani mencontohkan perubahan nilai tukar yang terjadi dalam tiga bulan belakangan ini. Saat itu rupiah dan mata uang di seluruh dunia mengalami depresiasi yang sangat berat terhadap dolar AS, namun dalam satu bulan belakangan ini kondisi terjadi sebaliknya.
"Dalam satu bulan terakhir Agustus ini saja, nilai tukar kita mengalami apresiasi hingga 5%. Meskipun year to date kita masih mengalami depresiasi 0,5%. Mungkin di Komisi XI masih ingat presentasi saya di sini untuk KEM-PPKF masih diwarnai oleh nilai tukar yang depresiasinya antara 5-6%," beber Sri Mulyani.
Sementara itu, BI memperkirakan nilai tukar rupiah secara rata-rata pada 2025 berada pada rentang Rp 15.300-Rp 15.700. Perkiraan itu lebih baik dari keseluruhan 2024 yang kisarannya adalah Rp 15.700-Rp 16.100.
Beberapa faktor yang mendorong penguatan rupiah, kata Perry adalah suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang turun. Faktor lain adalah asumsi kondisi makro ekonomi domestik yang baik hingga imbal hasil yang menarik.
"Untuk 2025 sesuai kondisi fundamental, kisaran rata-rata nilai tukar Rp 15.300-Rp 15.700. Tentu saja ini dengan asumsi tidak ada kondisi geopolitik yang kemudian memburuk atau kondisi-kondisi lain yang bisa memberikan tekanan-tekanan pada nilai tukar di tahun depan," ucap Perry dalam kesempatan yang sama.
(aid/rrd)