Jakarta -
Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) menyebut telah menerima hampir 1.500 laporan terkait perundungan atau bullying di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Namun dari seribuan laporan yang masuk ke Kemenkes, hanya 30 persen yang bisa diusut.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI Azhar Jaya mengatakan dari 1.500 laporan yang masuk, pihaknya hanya bisa mendalami sekitar 30 persen saja. Hal ini sekitar 70 persen laporan yang masuk, setelah didalami Kemenkes bukan termasuk ke dalam tindakan perundungan.
"Jadi kita di Kemenkes itu terima hampir 1.500 laporan tentang bullying. 70 persen setelah kami dalami itu bukan bullying," ujar Azhar kepada detikcom saat ditemui di Hotel JW Marriot, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (19/82024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah ini yang 30 persen kita tindak lanjuti. Jadi kita nggak serta merta, (menindaklanjuti) laporan bullying. Tapi kita cari dulu bukti-buktinya, kalau ternyata memang kuat kita tindak lanjuti dengan langkah-langkah pendisiplinan di lapangan," sambungnya.
Azhar mengatakan dari ribuan laporan yang masuk, Kemenkes sedang memilah kasus mana yang masuk kategori perundungan, lalu mana yang bersifat hukuman untuk mendidik.
"Namun sekali lagi, kita harus bedakan antara bullying sama manja. Harus dibedakan. Kalau misalnya namanya orang salah, dihukum bersifat mendidik, itu ok," kata Azhar.
"Tapi kalau sampai berhari-hari nggak pulang, itu nggak benar," sambungnya.
Hukuman-hukuman kepada peserta PPDS juga tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Menurut Azhar, harus terukur dan diketahui oleh dosen dan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).
"Marah terukur, hukuman terukur. Harus diketahui oleh dosennya dan DPJP. Jadi (dokter residen) boleh dihukum, tapi harus tanda tangan DPJP, sehingga bisa membuat mereka dalam tanda kutip tidak serampangan juga kerjanya," tutupnya.
(dpy/up)