Jakarta -
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kemenkumham Cahyo Muzhar menekankan pentingnya Beneficial Ownership (BO) atau kepemilikan manfaat untuk melawan korupsi, pencucian uang, hingga pendanaan terorisme. Sejak 2018, Ditjen AHU telah mengelola data BO dari seluruh jenis korporasi di Indonesia secara elektronik.
Hal tersebut ditekankan Cahyo Muhzar dalam forum bertajuk 'The Regional Peer Exchange on Advancing Anti-Corruption in Southeast Asia through Beneficial Ownership Transparency' yang digelar Kamis (15/8).
Cahyo mengatakan sejak menjadi anggota Satuan Tugas (Satgas) Aksi Keuangan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme atau Financial Action Task Force (FATF) pada akhir 2023, cara Indonesia mengelola basis data pemilik manfaat akhir korporasi dinilai oleh FATF.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi, ada kewajiban perusahaan untuk men-declare pemilik manfaat ini," kata Cahyo dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/8/2024).
Salah satu yang dinilai oleh FATF Adalah terkait dengan bagaimana Indonesia mengelola data dari BO dari suatu korporasi bisa PT, yayasan firma persekutuan perdata, CV, dan lain-lain.
Dari segi manfaat bisnis, Cahyo menjelaskan bahwa data pemilik manfaat diperlukan agar pihak yang berbisnis dengan korporasi di Indonesia mengetahui pemilik manfaat akhir dari korporasi tersebut. Sehingga bisa mencegah bisnis yang terlibat dalam tindak pidana.
Cahyo mengatakan Indonesia akan mendapatkan kepercayaan dunia, khususnya pada saat ingin mengembangkan dan memacu perekonomian.
"Tentu investor pada saat ingin berinvestasi di Indonesia harus memastikan bahwa uangnya tidak tercampur dengan hasil tindak pidana," tuturnya.
Dari perspektif manfaat penegakan hukum, dia menuturkan bahwa kepentingan institusi penegak hukum Indonesia dapat dipenuhi dalam proses hukum berupa penyidikan, penuntutan, eksekusi, baik tindak pidana umum, tindak pidana khusus, maupun tindak pidana transnasional antarnegara.
Cahyo menyebut Indonesia saat ini sedang dalam proses evaluasi oleh Bank Dunia terkait dengan kemudahan berusaha sehingga terdapat urgensi menyeimbangkan kemudahan berbisnis dan berinvestasi di Indonesia dengan keamanan berbisnis.
"Tentu investor pada saat ingin berinvestasi di Indonesia harus memastikan bahwa uangnya tidak juga tercampur dengan hasil tindak pidana," kata Cahyo
"Dengan demikian, harus mudah bisnis dan mudah investasi, tetapi juga harus dipastikan bahwa tidak ada uang atau bisnis dan investasi yang kemudian disalahgunakan untuk tindak pidana," imbuhnya.
Tindak pidana dimaksud, yakni seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU), tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT), dan proliferasi nuklir.
Crime Prevention and Criminal Justice Officer UNODC/StAR, Badr El Banna mengatakan pihaknya memberikan apresiasi kepada Kemenkumham dalam hal ini Ditjen AHU yang sudah mempunyai layanan BO dalam bentuk aplikasi digital.
"Kami merasa bangga untuk bekerja sama dengan Indonesia dan negara-negara di kawasan ini dalam mendukung upaya mereka, tidak hanya upaya antikorupsi secara umum, tetapi juga untuk mendukung mereka dalam merancang dan memperkuat kerangka kelembagaan dan hukum mereka terkait dengan kepemilikan manfaat," kata El Banna.
El Banna menambahkan, ada 191 negara yang dinaunginya menerapkan aturan standar UNODC. Menurutnya, BO sangat penting untuk pengembangan bisnis dalam perspektif manfaat dalam penegakan hukum.
"Sebagai bagian dari mandat UNODC, semua negara di kawasan ini harus mematuhi standar UNODC. Sejauh ini kami memiliki 191 negara pihak yang menerapkan ketentuan konvensi itu, dan juga mendukung negara-negara dalam mengimplementasikan rekomendasi yang keluar dari mekanisme peninjauan implementasi," tuturnya.
(eva/zap)