SEJUMLAH penyandang disabilitas turut menyuarakan aspirasi di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Agustus 2025. Mereka menuntut keadilan iklim dan sosial yang lebih berpihak pada kelompok rentan, terutama kaum disabilitas.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Mareta, perwakilan dari tim media Kelas Solidaritas Perempuan, mengatakan peserta aksi datang dari beragam latar belakang. “Ada disabilitas, perempuan, masyarakat adat, petani, nelayan sampai buruh,” ujarnya. Ia menyebut hampir setengah dari peserta yang hadir merupakan penyandang disabilitas dengan ragam kondisi, mulai dari pengguna kursi roda hingga disabilitas netra.
Menurut Mareta, tuntutan utama mereka adalah keadilan bagi para korban yang paling terdampak krisis iklim. “Kita mewujudkan keadilan iklim, di mana mereka harus melihat kita-kita kelompok rentan ini penyumbang emisi paling kecil tetapi menanggung dampaknya paling besar,” katanya.
Ani Juwairiyah, 65 tahun, dari Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kalimantan Timur, menyoroti dampak tambang di daerahnya. “Pertama, kembalikan Kalimantan Timur sebagai bumi yang subur. Tutup semua lubang-lubang tambang. Kembalikan ke tanah semula untuk kepentingan anak cucu,” katanya. Ia juga meminta agar dana karbon yang diterima Kalimantan Timur bisa menyasar kelompok disabilitas.
Dia mengaku sempat jengkel ketika massa aksi disabilitas dihadang aparat. “Kenapa polisi itu tidak memahami bahwa kami hanya ingin bersuara. Padahal itu ukuran sebuah negara demokrasi,” ucapnya.
Sementara itu, Edy Syahputra, 55 tahun, dari komunitas YDIS (Yayasan Disabilitas Indonesia Satu), menegaskan aspirasi mereka berangkat dari ketidakadilan yang dirasakan sehari-hari. “Aspirasinya lebih kepada keadilan. Keadilan dalam hal ini keadilan iklim ya. Iklim itu menaungi seluruh lapisan masyarakat,” katanya.
Ia menyoroti masih banyak aturan yang hanya formalitas, khususnya kuota kerja untuk disabilitas. “Dari sisi pekerjaan kita punya kuota 2 persen. Tapi belum tentu 2 persen itu diterapkan," ujarnya.
Edy juga menilai diskriminasi masih terjadi dalam persyaratan usia dan pendidikan bagi pencari kerja disabilitas. “Kalau memang rakyat itu mampu bekerja, yang bekerja adalah tangan dan otaknya. Pendidikan hanya pendukung. Kenapa harus dibatasi?” ujarnya.