Jakarta -
Penemuan sumber daya gas bumi 'raksasa' di South Andaman di Aceh dan Geng North di Kalimantan Timur membuat Indonesia memiliki hampir separuh dari cadangan gas bumi di Asia Tenggara. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang diminati investor untuk menaruh investasi.
Meskipun demikian, menurut lembaga riset energi internasional Rystad Energy, potensi itu harus dimanfaatkan secepatnya. Country Head Indonesia Rystad Energy Sofwan Hadi, mengatakan dukungan berbagai pihak diperlukan agar Indonesia tidak kehilangan momentum dalam memonetisasi sumber daya tersebut untuk menciptakan ketahanan energi nasional.
"Kondisinya adalah, peluang ada, potensi sangat besar, tetapi bagaimana proyek ini bisa berjalan sehingga dapat meyakinkan investor global. Itu yang harus menjadi prioritas saat ini," kata Sofwan dalam keterangan resmi, Senin (19/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, salah satu dukungan utama yang mendesak adalah menciptakan kebijakan fiskal yang tepat. Beberapa contohnya adalah insentif dan tax regime untuk memastikan nilai keekonomian proyek migas ke depan, serta keleluasaan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan opsi production sharing contract (PSC) gross split atau kembali ke opsi cost recovery.
"Ini bisa menjadi pilihan yang bagus untuk KKKS karena karakteristik setiap wilayah kerja berbeda dan membutuhkan PSC yang berbeda. Selain itu, insentif berdasarkan waktu (time-based incentive) juga bisa mendorong percepatan monetisasi proyek," kata Sofwan.
Di sisi lain, Sofyan mengatakan bahwa hal yang juga perlu didukung adalah penetapan harga gas domestik dan infrastruktur untuk memastikan distribusi gas. Sebab, jika harga gas domestik tidak bisa menutup transport cost alias ongkos logistik, minat investor untuk mengembangkan proyek bisa terpengaruh.
Sofwan pun mengingatkan bahwa keberadaan industri migas berperan penting untuk menjaga ketahanan dan kemandirian energi "Sehingga keberpihakan menjadi kunci dan bersifat mendesak untuk mencapai hal tersebut," bebernya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Divisi Program dan Komunikasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Hudi D. Suryodipuro, mengatakan bahwa pihaknya terus mendorong agar monetisasi berbagai proyek yang ada dan bakal terjalan segera terwujud.
Saat ini, pihaknya mencatat mencatat peningkatan realisasi produksi migas hingga 15 Agustus 2024 mencapai 1.873 ribu barel setara minyak per hari (BOEPD) atau meningkat sekitar 3,4% dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun 2023 yakni 1.811 ribu BOEPD. Secara bulanan, hingga pertengahan Agustus 2024, produksi minyak dan gas pun mencapai 1.860 ribu BOEPD atau naik sekitar 3,5% dibandingkan pada data bulanan yang sama yakni 1.797 ribu BOEPD.
Hudi menegaskan bahwa pihaknya optimis berbagai proyek hulu migas yang selesai tahun ini akan menambah produksi minyak dan gas secara signfiikan. "Selain dengan menemukan sumber-sumber baru, kami juga terus mengoptimalkan sumber-sumber yang telah beroperasi," kata Hudi.
Dia kemudian menjelaskan salah satu kontributor penambahan produksi minyak adalah proyek Banyu Urip Infill Clastic (BUIC) di blok Cepu yang mencapai 13.300 BOPD dari tujuh sumur yang dibor hingga 2025. Kontributor lain adalah optimalnya penyerapan salur gas sejak Juli 2024 serta lifting (salur gas) di 24 Juli 2024 yang menembus 5.919 juta standar kaki kubik gas per hari (MMSCFD), ini di atas target ABPN sebesar 5.785 MMSCFD.
Menurutnya, berbagai pencapaian industri hulu migas tersebut bakal menjadi langkah penting untuk mencapai tujuan ketahanan energi nasional. "Pencapaian ini menegaskan komitmen para pelaku industri hulu migas, termasuk seluruh KKKS, dalam mewujudkan ketahanan energi nasional sebagai kado bagi HUT ke-79 kemerdekaan Republik Indonesia," pungkas Hudi.
(fdl/fdl)