Jakarta -
Jaksa menghadirkan Direktur Keuangan PT Timah Tbk, Vina Eliani, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengelolaan timah yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun dengan terdakwa Harvey Moeis. Vina mengakui program kerja sama antara PT Timah dan smelter swasta dilakukan tanpa kajian risiko.
"Tadi ibu jelaskan setiap program di PT Timah harus terbuat dalam RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya). Kemudian, untuk program-program yang strategis tadi ibu jelaskan, harus ada kajian risiko ya. Saya mau mempertegas, terhadap ada beberapa kegiatan, ada mitra IUJP, sisa hasil pengolahan, sewa smelter, ibu bisa pastikan apakah program-progran yang dimaksud itu telah dilaksanakan analisa risikonya nggak?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2024).
"Terkait kajian risiko pada saat pemeriksaan saya sudah sempat ditanyakan oleh penyidik, apakah pernah dilakukan kajian risiko. Saya tanyakan ke Divisi terkait, khusus IUJP dan transaksi sewa smelter, dan SHP memang belum pernah dibuatkan kajian risikonya," jawab Vina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Vina mengakui jika PT Timah untung Rp 38 miliar di tahun 2018. Sementara PT Timah merugi Rp 611 miliar tahun 2019 dan Rp 340 miliar tahun 2020.
"Tadi penjelasan ibu secara historis, di neraca di tahun 2018 PT Timah untung Rp 38 miliar betul bu ya?" tanya jaksa.
"Betul," jawab Vina.
"Kemudian kerugian mulai dialami tahun 2019 senilai Rp 611 miliar, kemudian di tahun 2020 Rp 340 miliar. Betul bu?" tanya jaksa.
"Betul," jawab Vina.
Jaksa mengatakan kerja sama antara PT Timah dan smelter swasta masih berlangsung hingga tahun 2020. Lalu, Vina mengatakan PT Timah mulai untung di tahun 2021 sebesar Rp 1,3 triliun.
"Di tahun tahun 2019-2020 sepengetahuan Ibu ini masih masa ada kerja sama dengan smelter tadi?" tanya jaksa.
"Setahu saya masih dalam masa yang ada kerja sama dengan smelternya," jawab Vina.
"Kemudian, di tahun 2021, baru kembali untung, Rp 1,3 triliun?" tanya jaksa.
"Betul," jawab Vina.
Vina mengatakan kerja sama PT Timah dengan smelter swasta termasuk PT Refined Bangka Tin (PT RBT), yang diwakili Harvey Moeis berakhir tahun 2020. Jaksa kembali menegaskan ke Vina jika PT Timah kembali untung saat program kerja sama itu berakhir.
"Sepengetahuan ibu itu setelah perjanjian dihentikan atau masih ada kerja sama dengan smelter?" tanya jaksa.
"Untuk kerja sama dengan RBT setahu saya sudah berakhir sejak Desember tahun 2020," jawab Vina.
"Berarti keuntungan itu diperoleh tadi setelah berhenti kerja sama?" tanya jaksa mempertegas.
"Iya di tahun 2021 memang dari sisi harga cukup tinggi, di atas 38 ribu dollar," jawab Vina.
"Harga tinggi stok timah banyak seperti itu bu?" tanya jaksa.
"2021 stoknya kembali ke level yang 2019-2020 Pak, yang volumenya tinggi harga tiba-tiba turun," jawab Vina.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
"Bahwa akibat perbuatan Terdakwa Suranto Wibowo bersama-sama Amir Syahbana, Rusbani alias Bani, Bambang Gatot Ariyono, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, Alwin Albar, Tamron alias Aon, Achmad Albani, Hasan Tjhie, Kwan Yung alias Buyung, Suwito Gunawan alias Awi, m.b. Gunawan, Robert Indarto, Hendry Lie, Fandy lingga, Rosalina, Suparta, Reza Andriansyah dan Harvey Moeis sebagaimana diuraikan tersebut di atas telah mengakibatkan kerugian Keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14," ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Harvey di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (24/8).
Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. Lalu, jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.
(mib/idn)